Guru diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, guru juga laksana embun
penyejuk dalam kehausan. Guru dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti orang
yang pekerjaannya (profesinya) mengajar. Dalam Wikipedia guru berasal dari
bahasa sansakerta secara harfiah berarti berat, namun dipahami juga dihormati.
Dalam filosofi jawa guru dimaknai dengan “digugu dan ditiru” artinya mereka
yang selalu dicontoh dan dipanuti. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
2005 Tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa ”Guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Tak bisa dipungkiri bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan nasional, keberhasilan
pendidikan di suatu Negara sangat ditentukan oleh kualitas gurunya. Ketika kota
Hiroshima dan Nagasaki dibombardir oleh Amerika Serikat pada tahun 1945, hal
yang pertama ditanyakan oleh Kaisar Jepang, Kaisar Hirohito adalah berapa
banyak guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito sangat sadar bahwa kemajuan dan
kebangkitan suatu bangsa itu dimulai dari sumber daya manusianya. Sementara sumber
daya manusia yang berkualitas bisa dicapai dengan pendidikan. Sedangkan faktor
yang penting dalam pendidikan pada masa itu adalah keberadaan guru.
Betapa pentingnya peran guru dalam pendidikan juga dikemukakan oleh John Goodlad, tokoh pendidikan Amerika Serikat ini pernah melakukan
penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi
setiap keberhasilan proses pembelajaran. Penelitian yang dipublikasikan dengan
judul “Behind the Classroom Doors” menjelaskan bahwa “ketika para guru telah
memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas
pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru”. Oleh karena itu kualitas dan kesejahteraan
guru tersebut perlu mendapat perhatian sebaik-baiknya. Implikasi penelitian John goodlad dalam konteks otonomi
pendidikan saat ini adalah bahwa pemerintah daerah perlu menciptakan sebuah sistem rekrutmen dan
pembinaan karier guru agar para guru benar-benar memiliki
profesionalisme dan efektivitas kerja yang tinggi supaya ketika ia memasuki
ruang kelas mampu menciptakan kualitas pembelajaran yang ideal dan bermakna.
Membaca buku “LASKAR PELANGI” yang diangkat dari kisah nyata penulisnya Andrea Hirata, sungguh luar biasa. Sosok kepala sekolah Bapak Harfan Efendy Noor dan Ibu guru muda Muslimah Hafsari digambarkan sebagai sosok yang tulus, sederhana, dan sangat perhatian terhadap siswa-siswinya saat
mengajar di SD Muhammadiyah, Desa Gantong, Kecamatan Gantong,
Kabupaten Belitung Timur. Mereka mengajarkan integritas, keluhuran budi dan ketekunan yang sampai saat ini tetap hidup dalam hati sanubari para laskar pelangi. Rasanya, penggambaran sosok pak Harfan dan Bu Mus oleh Andre
tidaklah berlebihan. Karena mereka adalah guru yang mampu memotivasi dan menginspirasi siswanya menjadi orang yang sukses. Diantara 11 orang laskar pelangi di sekolah itu, ada yang mendapat beasiswa Internasional kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris, ada yang menjadi Research and Development manager di salah satu perusahaan multinasional paling penting di negeri ini, dan ada yang menjadi wakil rakyat (dikutip dari http://ardithaanggun.blogspot.com/2011/04/sinopsis-novel-laskar-pelangi.html). Kisah pengabdian tulus dan dedikasi yang luar biasa di tengah keterbatasan yang ada dari ke dua guru tersebut, patut dijadikan
renungan dan tauladan bagi para guru yang mengajar di sekolah yang fasilitas sarana dan
prasarananya terpenuhi, atau bahkan yang berstandar nasional dan internasional.